Kamis, 05 Januari 2012

religious


TAFSIR AL-QUR'AN SURAT AN-NAHL AYAT 43-44

A.    Orientasi Umum

1.      Pengertian Al-Qur'an
Menurut Ali Ash-Shabuni (1996:18), bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantara malaikat Jibril ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah. Dalam Islam, al-Qur'an merupakan firman Allah Swt yang berlaku setiap zaman dan tempat serta dapat mengayomi seluruh umat manusia.
Yusuf Qardhawi (1996:50) mengatakan bahwa, al-Qur'an adalah kitab bagi seluruh lapisan umat manusia yang berisi kumpulan syari'at Ilahi, dan undang-undang dasar (dustur) yang syamil (universal) yang disifati oleh Dzat yang menurunkannya sebagai penjelasan bagi sesuatu. Sedangkan menurut Jalaluddin A. (2010: 14) Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT. dan sekaligus mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dan ditulis dalam beberapa mushaf dan digabungkan menjadi sebuah kitab yang besar dan sampai kepada umatnya secara mutawatir (bersambung), yang tidak akan ditolak kebenarannya dan dianggap ibadah bagi orang yang membacanya serta dihukumi kafir bagi orang yang mengingkarinya.
Dengan demikian, Al-Qur'an merupakan mu'jizat yang paling besar bagi Nabi Muhammad Saw. yang mempunyai kekuatan luar biasa yang dapat menumbuhkan perubahan-perubahan tatanan kehidupan umat manusia. Setiap muslim yang sadar akan kedudukan al-Qur'an dalam kehidupannya, maka dia akan bersemangat mencari tahu dan senantiasa memahami makna dan kandungan al-Qur'an itu sendiri. Demikian itu merupakan dorongan alamiah manusia yang terefleksi dari suatu keyakinan betapa agung dan mulianya al-Qur'an.
Al-Qur'an bukan hanya pegangan umat muslim masa lalu, tetapi juga pegangan orang-orang muslim masa kini. Maka wajar jika dewasa kini terlihat santer tentang gagasan-gagasan mengenai penafsiran-penafsiran al-Qur'an baik tekstual maupun yang kontekstual. Al-Qur'an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lainnya. Al-Qur'an memberikan kemungkinan makna yang tidak terbatas. Menurut Muhammad Arkoun, "Ayat selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal", (M. Quraish Sihab, 1993: 72).
Allah menurunkan kitab-Nya al-Qur'an untuk pedoman dan petunjuk bagi kaum muslimin dalam melaksanakan aktivitas hidupnya tennasuk dalam pendidikan. Ajaran Islam memiliki kebenaran yang pasti serta undang-undangnya yang bijaksana dapat menjadikan kaum muslim meraih puncak kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Pengertian Tafsir
Kata "tafsir" adalah kata benda abstrak (masdar) dari kata kerja (fi’il) fassara, Persamaan kata kerja fassara adalah audlaha yang berarti menerangkan, dan bayyana yang berarti menerangkan, (Jalaluddin, 2010: 92). Secara etimologis, tafsir juga dapat diartikan dengan: a) interpretasi, b) penjelasan atau penerangan, c) komentar, (Ahmad Warson Munawir, 1988:177). Menurut Rosihan Anwar (2000: 209) tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakkan), dan al-ibanah (menjelaskan). Hal ini dapat dimengerti, karena dalam tradisi lisan Arab bahwa ketika orang bermaksud menjelaskan (mencari tahu suatu makna), maka sering menggunakan kata menafsirkan. Kata Ibnu Anbarry, orang Arab berkata, "Aku tafsirkan binatang yang melata, dan aku tafsirkan dia". (Manna Khalil Qattan, 1994: 326).
Kata tafsir dapat dijumpai dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 33, yaitu:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya, (Depag, 1989:564).
Sedangkan secara istilahi, tafsir menurut Ibnu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapkan lapadz-lapadz Al-Qur'an, serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung di dalamnya. (Rosihan Anwar, 2000: 210).
Aspek cara mengucapkan lafadz, ini identik dengaii ilmu qira'at. Tetapi dalam tafsir tentu tidak sebatas itu, melainkan mencakup aspek-aspek makna yang dikaitkan dengan kandungan hukum-hukum dalam al-Qur'an.
Zarkhasyi mengatakan: “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad Saw. menerangkan makna-makna dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”, (Manna Khalil Qattan, 1994: 326). Definisi ini sederhana tetapi mencakup kandungan yang luas. Dikatakan sederhana karena intinya memahami kitabullah yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. (al-Qur'an). Sedangkan dikatakan luas, karena dalam kitabullah tersebut terkandung petunjuk-petunjuk hidup manusia baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui; baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Jadi, inti tafsir berkaitan dengan menerangkan makna, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.
Menurut Syekh al-Zarqaniy yang dikutip Jalaluddin (2010:93) bahwa tafsir ialah: "Ilmu yang di dalamnya membahas tentang al-Qur'an dari segi pengertiannya terhadap apa yang dimaksud oleh Allah, sesuai dengan kemampuan manusia". Menafsirkan ayat al-Qur'an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan kandungan ayat al-Qur'an yaitu maksud dari suatu ayat tersebut. Begitu pula para Mufassir telah banyak mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur'an sehingga maksud-maksud yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur'an dapat dipahami dengan baik dan benar.
Pengertian tafsir di atas, berbeda dengan tarjamah. Secara keilmuan, tafsir berbeda dengan tarjamah, sebab tarjamah itu hanya memahami bahasa dan makna, sedangkan tafsir sampai pada mengeluarkan hukum dan hikmah dari suatu ayat al-Qur'an yang ditafsirkan. Dengan demikian, tidak semua orang yang ahli balaghah ahli bahasa) secara otomatis menguasai ilmu tafsir. Tetapi bagi ahli tafsir, menguasai bahasa adalah mutlak.
Berdasarkan uraian di atas, secara jelas dan tegas dapat dikatakan bahwa memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam ini tidak akan berhasil kecuali memahami dan menghayati al-Qur'an terlebih dahulu serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup di dalamnya. Hal yang demikian tidak akan tercapai tanpa memahami penjelasan dan perincian maksud yang dikehendaki oleh ayat-ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an membutuhkan suatu penafsiran.
Secara keilmuan, seorang penafsir al-Qur'an harus memiliki syarat-syarat tertentu dalam menafsirkan, karena materi yang akan ditafsirkan adalah kalam Allah yang Serba Maha. Menurut al-Abrasyi (1995:24), syarat yang harus dimiliki adalah ia harus benar-benar menguasai dua jenis ilmu ma'ani dan bayani. Di samping itu ia pun harus berwatak jujur, lapang dada, bertekad keras, berjiwa besar, bersikap hati-hati dalam menghadapi setiap isyarat yang terbersit dalam al-Qur'an. Syarat lain menurut Manna Khalil Qattan (1994:463), ia harus mempunyai aqidah yang kuat dan benar, bersih dari hawa nafsu. Dengan demikian, secara umum syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir adalah ia menguasai segala rupa ilmu, segala rupa ma'rifat, segala kejadian dan pengalaman yang terus dari masa ke masa yang semuanya digunakan untuk menafsirkan al-Qur'an (Hasbi Asy-Syidiqi, 1993:261).
Pentingnya penafsiran, didasarkan pada pikiran bahwa memahami al-Qur'an yang berisi hukum-hukum merupakan sumber kebahagiaan dan keselamatan yang abadi. Ia adalah tali yang kokoh dan jalan yang lurus; ia sulit bisa menjadi hudan (petunjuk) kecuali dengan memahami ilmu tafsir. Di sisi lain juga karena objeknya yang mulia dan kemuliaan kandungannya sehingga amat diperlukan oleh manusia. Isya bin Mu' awiyah berkata :
Orang-orang yang membaca al-Qur'an sedang mereka tidak mengetahui tafsirnya, adalah seumparna orang-orang yang datang kepadanya sebuah surat dari raja pada malam hari, sedang mereka tidak mempunyai pelita. Mereka dipengarahi oleh ketakutan dan mereka tidak mengetauhi isi kitab itu. Orang-orang yang mengetahui tafsirnya adalah seumpama seorang yang dibawa kepadanya sebuah lampu, lalu mereka dapat membaca apa yang tersurat dalam surat itu, (Hasbi Ash Shiddieqqy, 1954: 207).
Jadi, penting memahami ilmu tafsir bukan hanya karena al-Qur'an datang dari Tuhan, tetapi karena satu-satunya cara untuk mengerti maksud al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk hidup manusia. Jika tidak karena ini, maka tidak perlu al-Qur'an dipahami. Oleh karena sedemikian pentingnya al-Qur'an dipahami oleh manusia, maka penafsiran pun menjadi penting.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur'an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian dapat menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dari situlah maka muncullah bentuk-bentuk dan corak tafsir yang kesemuanya untuk memahami al-Qur'an, walaupun dati perspektif yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru itulah uniknya al-Qur'an sebagai kalam Allah.
M. Dawam Raharjo (1996:9) mengatakan bahwa, penafsiran al-Qur'an akan mengalami perkembangan sehingga lahirlah penafsiran-penafsiran baru yang terdiri dari: 1) penafsiran yang mengacu pada makna kata demi kata sejalan dengan perkembangan suatu bahasa, 2) penafsiran karena penemuan seseorang tentang keterangan lain yang dijumpai dalam al-Qur'an sendiri, 3) penafsiran yang berasal dari informasi tentang asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya al-Qur'an).
Dengan demikian, orientasi penafsiran al-Qur'an mengarah pada upaya memahami petunjuk-petunjuk al-Qur'an, sehingga manusia dapat berjalan di atas petunjuk tersebut setelah melewati penafsiran-penafsiran yang didukung oleh ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan ilmu tafsir. Hasil-hasil penafsiran selanjutnya diaplikasi dalam berbagai saluran kehidupan manusia termasuk dalam pendidikan Islam.

B.     Tafsir Al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 43-44

1.      Teks dan Terjemah
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 43-44)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (Depag RI, 1989:408).

2.      Penafsiran para Mufassir terhadap QS. An-Nahl ayat 43-44
a.       Muhammad Nasib al-Rifai dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (1999:1030-1032)
Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas: ketika Allah mengutus Muhammad saw maka sebagian bangsa Arab mengingkarinya. Mereka berkata, bagaimana mungkin Allah yang demikian agung mengutus seorang manusia sebagai rasul-Nya”. Maka diturunkanlah ayat, “patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, “berilah peringatan kepada manusia” (Yunus:2). Sedangkan di dalam surat ini Allah berfirman, “dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. Maksunya, tanyakanlah kepada ahli kitab, apakah dahulu rasul mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka malaikat, wajarlah jika kamu ingkar. Namun, jika mereka itu manusia maka jangan heran terhadpa keberadaan Muhammad saw sebagai rasul.
Mujahid juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan “orang yang mempunyai pengetahuan” ialah ahli kitab. Ayat ini bertujuan untuk menerangkan bahwa para rasul terdahulu yang diutus sebelum Muhammad pun adalah manusia seperti halnya Muhammad, sebagaimana firman Allah, “katakanlah, “bahwasanya aku hanyalah manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku…” (Fushilat: 6).
Kemudian Allah Ta’ala mengarahkan orang-orang yang meragukan keberadaan rasul berupa manusia agar mereka bertanya kepada para pemegang kitab-kitab terdahulu ihwal para nabinya, apakah mereka itu manusia ataukah malaikat?
Selanjutnya Allah Ta’ala mengemukakan bahwa Dia mengutus para rasul itu dengan membawa keterangan-keterangan dan kitba-kitab, yakni berbagai hujah, dalil dan az-zubur. Menurut Ibnu Abbas dan mufassir lainnya, az-zubur berarti kitab-kitab. Zubur merupakan jamak dari zabuur. Orang Arab berkata, “zabartulkitaba” (jika aku menulis buku). Allah berfirman, “dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam az-zubur (buku-buku catatan)” (Al-Qamar: 52).
Allah Ta’ala berfirman, “dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” dari tuhannya sebab kamu mengetahui kandungan al-Qur'an yang diturunkan kepadamu, kamu sangat mencintainya, dan mematuhinya, karena Kami tahu bahwa kamu merupakan makhluk yang paling utama dan junjungan keturunan Adam. Maka rincilah ayat global dan terangkanlah ayat yang musykil supaya mereka memikirkan, yakni merenungkan kebaikan dirinya, lalu beroleh petunjuk sehingga mereka berhasil meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Penafsiran di atas mengisyaratkan bahwa sebagai manusia harus mengetahui segala sesuatu terlebih dahulu dengan cara bertanya kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan agar mereka memperoleh manfaat di dunia dan akhirat.
b.      Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 7 (2003:181-182)
Ayat tersebut menyebutkan, “Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang laki-laki kamu”. Kami tidak mengutus para malaikat ataupun makhluk lainnya. Akan tetapi, orang laki-laki yang terpilih “yang Kami wahyukan kepada mereka” sebagaimana telah Kami wahyukan pula sebelumnya kepadamu. Kami juga membebankan tabligh kepada mereka sebagaimana Kami juga membebankannya kepadamu”. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan dari golongan makhluk yang pandai tentang al-Kitab yang pernah diutus para rasul terdahulu. Baik mereka adalah kaum lelakinya, para malaikat, ataupun makhluk lainnya. Tanyalah kepada mereka “jika kamu tidak mengetahui”.
Kami telah mengutus mereka dengan membawa keterangan-keterangan dan kitab-kitab terdahulu (Zabur, yaitu kitab-kitab yang sudah terpencar-pencar), “Kami turunkan kepadamu al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. Kamu terangkan kepada mereka yang lebih dahulu (Ahli Kitab) yang berselisih tentang kitab-kitab mereka, sampai al-Qur'an datang untuk menjelaskan debat selisih mereka dengan menerangkan sisi kebenaran dengan perselisihan mereka. Ataupun, kamu terangkan kepada generasi mendatang yang diturunkan wahyu di tengah-tengah mereka, sementara rasul menjelaskan kepada mereka dengan amal perbuatan dan perkataannya, “supaya mereka berpikir” tentang ayat-ayat Allah dan ayat-ayat al-Qur'an. Karena al-Qur'an akan senantiasa mengajak untuk “tafakur dan tadabur”, mengajak untuk berfikir dan merasakan keagungan ayat-ayat Allah.
Sebuah kesimpulan yang dapat diambil dari penafsiran di atas, ialah agar bertanya kepada orang yang pandai yang sekiranya mereka dapat memberitahukan sesuatu yang sangat urgen, sehingga anak didik tersebut dapat berfikir tentang ilmu pengetahuan.
Tanyalah kepada ahli-ahli kitab yang telah lalu, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasharani, apakah rasul-rasul yang diutus kepada mereka manusia, ataukah malaikat. Jika malaikat, wajarlah kamu mengingkari Muhammad. Dan jika manusia, maka janganlah kamu mengingkari Muhammad menjadi rasul lantaran dia seorang manusia”.
Semua mereka akan mengatakan kepada kamu, bahwa rasul itu semua manusia, bukan malaikat dan bukan jin.

بالبينات والزبر

Yakni Kami tiada utuskan rasul-rasul itu melainkan disertai oleh berbagai hujjah dan dalil-dalil yang menunjuk kepada kebenaran kenabian mereka dan disertai oleh kitab-kitab yang mengandung syari’at yang harus mereka sampaikan kepada kaumnya”.

وانزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم

“Kami (Allah) telah menurunkan kepada engkau ya Muhammad al-Qur'an, untuk menjadi peringatan dan pengajaran kepada manusia, supaya engkau menerangkan kepada mereka hukum-hukum, syari’at-syari’at dan keadaan-keadaan umat yang telah lalu yang dimusnahkan dengan berbagai macam azab dan supaya engkau menerangkan kepada mereka hukum-hukum yang musykil bagi mereka dan supaya engkau jelaskan kepada mereka keterangan-keterangan yang disingkatkan, dan itulah yang diturunkan kepada mereka”.

ولعلهم يتفكرون

“Mudah-mudahan mereka memikiri apa yang telah diturunkan kepada mereka dan mengambil petunjuk daripadanya”.
Berdasarkan penafsiran di atas diperintahkan untuk bertanya kepada orang yang memiliki kemampuan supaya tidak ada keraguan dan mendapatkan sesuatu yang pasti dari orang yang berpengetahuan karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu yang bersumberkan dari al-Qur'an. Dengan demikian anak didik dapat mengambil suatu pelajaran sehingga beroleh manfaat.
c.       Depag RI dalam Al-Qur'an dan Tafsirnya Jilid 5 (1983:390-393).
Di dalam ayat-ayat yang telah lalu Allah SWT menjelaskan bahwa kaum musyrikin mengingkari kerasulan Muhammad saw dan mereka menganiaya Nabi dan pengikutnya sehingga mereka berhijrah menyelamatkan diri dari penganiayaan orang musyrikin. Hal ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin tidka memerlukan Nabi, karena tidka meyakini hari berbangkit dan hari pembalasan. Kemudian di dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan pengingkaran dalam bentuk yang lain yang mereka cari-cari untuk mendustakan kerasulan Muhammad saw. Mereka menyangkal kerisalahan Muhammad itu dengan mengatakan bahwa kalau Allah akan mengirimkan utusan tentulah ia akan mengutus malaikat. Akan tetapi alasan mereka itu tidak dapat dibenarkan menurut kenyataan sejarah, karena Allah mengutus utusan hanyalah orang laki-laki yang diberi wahyu.
Allah SWT menyatakan bahwa Allah tidak mengutus sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw terkecuali laki-laki yang diutusnya diberi wahyu. Ayat ini menggambarkan bahwa rasul-rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu hanyalah laki-laki dan keturunan Adam, bukan malaikat atau jenis lainnya. Rasul-rasul itu dari sejak nabi Adam a.s. sehingga nabi Muhammad saw diutus untuk membimbing umatnya agar mereka itu beragama tauhid dan mengikuti bimbingan wahyu. Maka yang pantas diutus ialah rasul-rasul dari jenis mereka dan berbahasa seperti mereka. Pada saat Rasulullah saw diutus orang-orang Arab menyangkal bahwa Allah tidak mungkin mengutus utusan yang berasal dari manusia seperti mereka, tetapi kalau Allah mau mengutus seorang malaikat.
Mengenai penyangkalan orang-orang Arab pada kerisalahan Muhammad lantaran ia seorang manusia biasa, dapatlah diikuti sebuah riwayat dari Adh-Dhahak yang disandarkan kepada Ibnu Abbas bahwa setelah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi utusan orang Arab yang mengingkari keutusannya. Mereka berkata: “Allah SWT lebih agung daripada bila rasul-Nya itu manusia. Kemudian turun ayat-ayat Yunus.
Sesudah itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang musyrikin agar bertanya kepada orang-orang ahli kitab sebelum kedatangan Muhammad saw, baik kepada orang-orang Yahudi ataupun kepada orang-orang Nashara. Apakah di dalam kitab-kitab mereka itu disebutkan suatu keterangan bahwa Allah pernah mengutus malaikat kepada mereka. Maka kalau disebutkan di dalam kitab mereka itu bahwa Allah pernah menurunkan malaikat sebagai utusan Allah bolehlah mereka itu mengingkari kerisalahan Muhammad. Akan tetapi apabila yang disebutkan di dalam kitab mereka Allah hanya mengirim utusan kepada mereka manusia yang sejenis dengan mereka maka tidak benarlah apabila orang-orang musyruikin itu mengingkari kerisalahan Muhammad saw.
Sesudah itu Allah SWT menjelaskan bahwa rausl-rasul itu diutus dengan membawa keterangan-keterangan yang membuktikan kebenaran, yaitu mukjizat dan kitab-kitab. Yang dimaksud dengan keterangan di dalam ayat ini ialah dalil-dalil yang membuktikan kebenaran kerisalahannya dan dimaksud dengan az-zabur ialah kitab yang mengandung tuntunan hidup dan tata hukum yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Allah SWT menerangkan pula bahwa Dia telah menurunkan al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw, agar kitab al-Qur'an itu dijadikan pedoman untuk memberikan penjelasan kepada manusia apa saja yang diturunkan kepada mereka yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan serta aturan-aturan hidup lainnya yang harus mereka perhatikan dan mengandung kisah-kisah umat terdahulu agar dijadikan suri tauladan, dalam menempuh kehidupan di dunia. Juga al-Qur'an itu dijadikan sebagai dasar mengenai hal-hal yang mereka sukar, yaitu menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an serta merinci kandungan yang bersifat global sesuai dengan kemampuan berfikir dan kepahaman mereka terhadap tujuan hukum.
Allah SWT dalam akhir ayat-Nya menandaskan pengharapan-Nya agar mereka suka memikirkan kandungan isi al-Qur'an dengan pemikiran yang jernih baik terhadap prinsip-prinsip hidup yang terkandung di dalamnya serta tamsil ibarat yang ada di dalam ayat-ayat al-Qur'an itu, agar mereka itu mengambil kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, terlepas dari berbagai macam azab dan bencana seperti yang menimpa umat-umat sebelumnya.
Penafsiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan. Dengan berfikir dan mengetahui suatu ilmu manusia dapat menjelaskan aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur'an sebagai pedoman hidup sehingga manusia dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
d.      Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi Jilid 14 (1992:143-162)
Penafsiran mufradat
Ahli kitab                                                                                                  =  اهل
 Mukjizat yang membuktikan kebenaran rasul                                               =   البينة
bentuk jama dari zabur, yaitu kitab yang memuat syari’at dan taklif yang   =   الزبور
disampaikan para rasul kepada hamba Allah.
al-Qur'anالذكر=                                                                                  
 untuk menjelaskan kepada mereka rahasia-rahasia tasyri yang             = لتبين الناس
tersembunyi bagi mereka.
Pengertian secara umum
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah Yang Maha Kuasa mengetengahkan apa yang dikatakan orang-orang musyrik, bahwa mereka tidak membutuhkan para Nabi, karena kebutuhan kepada mereka mengharuskan adanya kehidupan lain, tempat mereka dihisab, sedang mereka tidak membenarkan hal itu dan adalah tidak masuk akal jika yang demikian itu ada.
Di dalam ayat ini Allah menyajikan kesalahpahaman mereka yang lain. Mereka mengatakan, sekiranya Alah hendak mengutus seorang rasul, maka rasul itu bukan seorang manusia, karena Allah Maha Tinggi dan Maha Agung daripada rasul-Nya salah seorang di antara manusia, sekiranya Dia mengutus seorang rasul dari kami, tentu Dia mengutus malaikat. Kemudian Allah menjawab kesalahpahaman ini, bahwa telah menjadi Sunnah Allah untuk mengutus para rasul-Nya dari manusia. Jika kalian ragu-ragu tentang hal itu, tanyakanlah kepada Ahli Kitab.
Selanjutnya Dia mengancam mereka akan menenggelamkan bumi bersama mereka, sebagaimana Dia telah menenggelamkan Qarun, atau mendatangkan azab dari langit, lalu membinasakan mereka secara tiba-tiba, ketika mereka mengadakan perjalan dan sibuk dengan urusan penghidupan dan membinasakan mereka sekelompok demi sekelompok. Kemudian Allah menyajikan bukti-bukti atas kesempurnaan kekuasaan-Nya di dalam mengatur ikhwal alam tertinggi dan alam terbawah dengan pengaturan yang paling sempurna dan perhitungan yang paling rapi.
Penjelasan

وما ارسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم

“tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu kepada umat-umat untuk mengajak mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku, kecuali mereka itu adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, bukan para malaikat”.
Ringkasnya, sesungguhnya Kami tidak mengutus kepada kaummu, kecuali seperti orang-orang yang pernah Kami utus kepada umat-umat sebelum mereka, yakni para rasul dari jenis mereka dan berbuat seperti mereka berbuat”.
Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah mengutus Muhammad saw, orang-orang Arab mengingkari pengutusannya itu ia berkata, “Allah Maha Agung dari menjalankan utusann-Nya seorang manusia”. Maka Allah menurunkan ayat dalam al-Qur'an surat Yunus ayat 2 yang artinya, “patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, berilah peringatan kepada manusia”.

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Maka tanyakanlah kepada Ahli Kitab dahulu di antara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka itu malaikat silahkan kalian mengingkari Muhammad saw. Tetapi jika mereka itu manusia, jangan kalian ingkari dia”.

بالبينات والزبور

“orang Arab mengatakan zabartu al-kitaba, berarti saya menulis kitab, yakni Kami tidak mengutus para rasul, kecuali mereka itu laki-laki dengan membawa dalil-dalil dan hujjah-hujjah yang membuktikan kebenaran kenabian mereka, serta kitab-kitab yang memuat berbagai taklif dan syari’at yang mereka sampaikan kepada Allah kepada para hamba”.

وانزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم

“Dan Kami turunkan al-Qur'an kepadamu sebagai peringatan bagi manusia agar kamu memberitahu mereka tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka, berupa hukum syari’at dan ikhwal umat-umat yang dibinasakan dengan berbagai zab, sebagai balasan atas penentangan mereka terhadap para nabi dan agar kamu menjelaskan hukum-hukum yang terasa sulit oleh mereka, serta menguraikan apa yang diturunkan secara garis besar, sesuai dengan tingkat kesiapan dan pemahaman mereka terhadap rahasia tasyri”.

ولعلهم يتفكرون

“Yakni Kami turunkan al-Qur'an itu agar kamu menanti mereka berfikir tentang rahasia dan pelajaran ini, serta agar mereka jauh dari mengikuti jejak para pendusta pendahulu, sehingga mereka tidak ditimpa azab seperti yang telah ditimpakan kepada mereka”.
Dengan demikian dapat disimpulkan belajar merupakan suatu keharusan supaya manusia tidak bingung dengan berbagai permasalahan hidup. Mengetahui dan berfikir sehingga memperoleh suatu kebenaran yang hakiki dari ilmu supaya mendapatkan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
e.       M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Jilid 7 (2005:234-240)
Ayat-ayat yang lalu menguraikan keburukan ucapan dan perbuatan kaum musyrikin, serta pengingkaran mereka terhadap keesaan Allah SWT, keniscayaan hari kemudian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. demikian juga penolakan mereka terhadap apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Itu semua telah dibantah. Kini ayat ini dan ayat berikut kembali menguraikan kesesatan pandangan, mereka menyangkut kerasulan Nabi Muhammad saw. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak ia harus disertai oleh malaikat. Ayat ini menegaskan bahwa: ‘dan kami tidak mengutus sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan di manapun, kekcuali orang-orang lelaki yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang kami beri wahyu kepada mereka antara lain melalui malaikat Jibril; maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahli ad-dzikr yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Thabathaba’i walaupun sependapat dengan banyak ulama yang menilai ayat ini berbicara kembali tentang kerasulan yang ditolak oleh kaum musyrikin tetapi tidak menghubungkannya dengan penolakan kaum musyrikin atas kehadiran manusia sebagai utusan Allah, dan tidak dengan usul-usul mereka agar malaikat turun menyampaikan atau membantu para rasul dalam risalah mereka. Beliau beralasan, antara lain bahwa kedua hal di atas tidak disinggung sebelumnya dalam konteks ayat ini. Ia menghubungkan ayat ini dengan ayat 35 yang merekam ucapan kaum musyrikin (لوشاء الله ما عبدنا من دونه من شيئ) jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak menyembah sesuatu apapun selain Dia. Ucapan mereka ini, bertujuan membuktikan kemustahilan adanya utusan Allah, bukan bertujuan membuktikan adanya kemustahilan manusia menjadi utusan-Nya.
Atas dasar itu ia berpendapat bahwa ayat ini menginformasikan bahwa dakwah keagamaan dari risalah kenabian adalah dakwah yang disampaikan oleh manusia biasa yang mendapat wahyu dan bertugas mengajak manusia menuju kebahagiaan dunia dan ukhrawi. Tidak seorang rausl pun, tidak juga satu kitab suci yang menyatakan bahwa risalah keagamaan berarti nampaknya kekuasaan Allah yang gaib lagi mutlak atas segala sesuatu, atau lahirnya kehendak Allah yang mutlak yang memporakporandakan sistem yang berlaku atau membatalkan sunnatullah/hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya. Sehingga tidak wajar kaum musyrikin berkata: (لوشاء الله ما عبدنا من دونه من شيئ) jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia.
Para ulama menjadikan kata رجل pada ayat ini sebagai alasan untuk menyatakan bahwa semua manusia yang diangkat Allah sebagai rasul adalah pria, dan tidak satu pun yang wanita. Dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dipahami dalam arti lelaki. Namun, terdapat ayat-ayat al-Qur'an yang mengesankan bahwa kata tersebut tidak selalu dalam arti jenis kelamin lelaki. Ia digunakan juga untuk menunjuk manusia yang memiliki keistimewaan atau ketokohan, atau ciri tertentu yang membedakan mereka dari yang lain.
Kata اهل الذكر pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama dalam arti pemuka agama Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada informasi al-Qur'an sebab mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul, mereka akui. Ada juga yang memahamai istilah ini dalam arti sejarawan, baik muslim ataupun non muslim.
Kata ان jika, pada ayat dia tas biasanya digunakan menyangkut sesuatu yang tidak pasti atau diragukan, mengisyaratkan bahwa persoalan yang dipaparkan oleh Nabi saw dan al-Qur'an sudah jelas, sehingga diragukan adanya ketidaktahuan dan dengan demikian penolakan yang dilakukan kaum musyrikin itu bukan lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari sikap keras kepala.
Walaupun ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat pula dipahami sebagai perintah bertanya, apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya, kepada siapapun yang tahu dan tidak tertuduh objektifitasnya.
Perintah untuk bertanya kepada ahli kitab yang dalam ayat ini digelari ahl adz-dzikr menyangkut apa yang tidak diketahui selama mereka dinilai berpengetahuan dan objektif, menunjukkan betapa Islam sangat terbuka dalam perolehan pengetahuan, seperti sabda Nabi: “hikmah adalah sesuatu yang didambakan seorang mukmin, dimana pun dia menemukannya, maka dia lebih wajar mengambilnya”. Demikian juga dengan ungkapan yang populer dinilai sebagai sabda Nabi saw: “tuntutlah ilmu walaupun di negeri cinta”. Itu semua merupakan landasan untuk menyatakan bahwa ilmu dalam pandangan Islam bersifat universal, terbuka, serta manusiawi dalam arti harus dimanfaatkan oleh dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.
Ayat di atas mengubah redaksinya dari persona ketiga menjadi persona yang ditujukan langsung kepada mitra bicara, dalam hal ini adalah Nabi Muhammad saw. Agaknya hal ini mengisyaratkan penghormatan kepada beliau dan termasuk dalam kelompok rasul-rasul yang diutus Allah, bahkan beliau tidak kurang jika enggan berkata lebih tinggi dari mereka.
Para rasul yang Kami utus sebelummu itu semua membawa keterangan-keterangan yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul, dan sebagian membawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati, dan Kami turunkan kepadamu ad-dzikr yakni al-Qur'an itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka mengetahui dan sadar dan supaya mereka senantiasa berfikir lalu menarik pelajaran untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Kata الزبر adalah jamak dari kata زبور yakni tulisan. Yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang ditulis, seperti Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim a.s. Para ulama berpendapat bahwa zubur adalah kitab-kitab singkat yang tidak mengandung syari’at, tetapi sekedar nasihat-nasihat.
Salah satu nama al-Qur'an adalah الذكر yang dari bahasa antonym kata lupa. Al-Qur'an dinamai demikian karena ayat-ayatnya berfungsi emngingatkan manusia apa yang dia berpotensi melupakannya dari kewajiban, tuntunan dan peringatan yang seharusnya dia selalu ingat, laksanakan dan indahkan. Di sisi lain, tuntunan dan petunjuk-petunjuknya harus pula selalu diingat dan dicamkan.
Penyebutan anugerah Allah kepada Nabi Muhammad saw secara khusus dan bahwa yang dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya.
Pengulangan kata turun dua kali yakni انزلنا اليك kami turunkan kepadamu dan مانزل اليهم apa yang telah diturunkan kepada mereka mengisyaratkan perbedaan penurunan yang dimaksud. Yang pertama adalah penurunan al-Qur'an kepada nabi Muhammad saw yang bersifat langsung dari Allah SWT dan dengan redaksi pilihan-Nya sendiri, sedang yang kedua adalah ditujukan ekpada manusia seluruhnya. Ini adalah penjelasan-penjelasan nabi Muhammad saw tentang al-Qur'an. Penjelasan yang dimaksud adalah berdasar wewenang yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw dan wahyu atau ilham-Nya yang beliau sampaikan dengan bahasa dan redaksi beliau.
Thabathaba’i menegaskan bahwa al-Qur'an diturunkan kepada umat manusia dan kepada Nabi Muhammad saw sama, agar mereka mengambil dan menerapkannya. Ayat ini menurutnya menegaskan bahwa tujuan turunnya al-Qur'an adalah untuk semua manusia dan nabi Muhammad saw serta seluruh manusia dalam hal ini sama. Kami mengarahkan pembicaraan kepadamu dan menurunkan kepadamu dan menurunkan wahyu ini bukan untuk kuasa mutlak yang ghaib atau kehendak ilahiah yang menjadikan mampu melakukan dan menguasai segala sesuatu, tetapi untuk dua hal, yaitu:
Pertama, menjelaskan apa yang diturunkan secara bertahap kepada manusia, karena ma’rifah ilahiyah tidak dapat diperoleh manusia tanpa perantara, karena itu diutus seorang dari mereka (manusia) untuk menjelaskan dan mengajar.
Kedua, adalah harapan kiranya mereka berfikir menyangkut dirimu (Nabi Muhammad) agar mereka mengetahui apa yang mereka sampaikan itu adalah kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.
Pendapat ini yang menjadikan objek kata yatafakkaruun adalah pribadi Nabi Muhammad saw berbeda dengan pendapat banyak ulama yang menjadikan objeknya adalah adz-dzikr, yakni berfikir tentang al-Qur'an, menjadikan objeknya seperti mengandung makna yang sama dengan penggalan sebelumnya. Pendapat ini sama dengan asy-Syarawi yang menegaskan bahwa objek berfikir yang dimaksud adalah keadaan Nabi Muhammad saw sebelum diutus oleh Allah yang ketika itu beliau tidak dikenal sastrawan, penyair atau penulis.
Sebuah kesimpulan yang dapat diambil dari penafsiran di atas bahwa belajar merupakan sikap yang terpuji supaya mampu menerima sesuatu dengan jelas (tidak ada keraguan) dan paham, dari seorang yang memiliki ilmu-ilmu yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan belajar manusia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar